Surat Kabar Malam

penulis : Kayla Fosa Safiels

Kelas     : 10.7

Hanya aku, yang terduduk di teras gubuk milik dua insan yang mencintai dan menyayangiku sepenuh hati, yang tak lain dan tak bukan adalah Bapak dan Ibuku. Ditemani secangkir kopi dan surat kabar pagi terakhir di tengah cahaya yang remang dan sinar dari Sang rembulan sembari mengingat suatu kejadian singkat yang membuat nurani ku tercampur aduk. Merasa senang? sedih? marah? atau kesal? entahlah, namun itu merupakan sebuah pengalaman yang bisa dikatakan 'berharga' untukku. Iya, cerita tentang surat kabar pagi yang hendak dibaca lagi dikala rembulan sedang sumringahnya. Surat kabar itu kudapatkan ketika tengah dalam perjalanan pulang di lampu merah malam itu.

 

Kala itu, aku merasa senang karena telah mengerjakan pekerjaan ku pada hari itu. Namun, aku baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan hanya aku dan dua temanku yang masih ada disitu.

Aku pun berpamitan kepada kedua temanku, dan memutuskan untuk pulang.

 

“Benk, balik dulu, ya!” pamitku sambil memakai helm.

“Yoi, benk. ti-hati”

“Jangan sampe ketemu tuyul dijalan” ujar mereka.

“Yaelah, benk. Mana ada tuyul nongol jam segini. See you tomorrow!” ucapku sambil menyalakan motorku.

 

Sesampainya di lampu merah, aku melihat ada anak kecil yang menawarkan koran kepada para pengemudi jalan. Banyak yang menolak untuk membeli. Dan karena kasihan, aku pun membeli salah satu koran darinya. Melihatnya yang tersenyum gembira sampai gigi ompongnya tampak membuatku merasa senang juga. Lampu merah pun berubah menjadi kuning, yang mana artinya akan segera menjadi hijau. Ia berlari menuju pinggir jalan, dan aku samar-samar mendengarnya berteriak “Terimakasih!”. Sesampainya dirumah, aku memikirkan tentang anak kecil tadi. Banyak pertanyaan terlintas di kepalaku, seperti “bocah tadi mencari uang sendiri, dimana orang tuanya? apa dia makan cukup? dia bersekolah enggak, ya?”.

 

Lalu aku berkata, “Yasudah lah, semoga dia sehat selalu”.

 

Keesokan harinya, aku bangun disertai rasa penasaran yang besar. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mencari asal-usul tentang anak kecil yang kemarin.

 

“Toh, hari ini juga libur” pikirku.

 

Aku memutuskan untuk menanyakannya di pengepul koran dulu.

 

“Permisi, Pak. Anak kecil yang biasanya datang kemari itu bertempat tinggal dimana, ya?”

“Oh, anak-anak itu..”

“'anak-anak'?”

“Iya, banyak anak-anak yang kesini untuk membeli koran-koran lalu menjajakannya. Setau Saya, mereka sudah tidak punya orang tua, hidup di gang-gang kecil disana” jelas bapak pengepul koran kepadaku, sambil menunjuk kearah gang-gang kecil yang lumayan agak jauh tempatnya.

“Oh, iya, Pak.. terimakasih banyak.” pamitku sambil bergegas menuju arah yang ditunjukkan oleh bapak pengepul koran.

 

Sesampainya di gang-gang kecil tersebut, memang benar aku menemukan beberapa kardus yang dibuat seperti rumah kecil (?) untuk berlindung. Aku menghampiri salah satu dari banyak rumah-rumahan tersebut, dan bertemu dengan anak kecil kemarin.

 

“Halo, anak kecil” sapaku.

“Jangan panggil aku anak kecil, namaku bukan Shiva. Aku Udin” ucapnya.

“Kimi no namae wa, Udin, eh. Mau permen?”

“Moh, makasih. Nanti aku kok culik kayak di TV-TV gitu.”

“Hahaha, Ya ampun. Yawis. Ngomong-ngomong, kamu tinggal disini?”

“Iya. Banyak temen-temen ku yang disini juga. Ada Agus, Jamal, Nur, sama Wiwik.”

“Oh, kamu nggak sekolah?”

“Ndak, Kak. Mau makan aja kadang masih susah. Pagi ambil koran, habis itu ngumpulin sampah. Itupun mulung sampah bisa sampe sore. Sorenya jajain koran pagi tadi, kalau laku ya syukur, kalau enggak ya belum rezeki. Kadang kalau hujan gitu sering minggir buat neduh tapi diusir, untung juga gak seberapa. Tapi syukur masih bisa buat makan.”

 

Aku yang mendengar perjuangan anak itu untuk mencari sesuap nasi pun merasa terenyuh, dalam hati kuucapkan syukur kepada Yang Kuasa. Ternyata masih banyak orang yang serba-serbi kekurangan, bukan hanya untuk kebutuhan hidup, untuk makan sebungkus nasi sehari saja masih perlu mengeluarkan beribu peluh keringat dan beribu kilometer untuk ditempuh.

 

“Oh, gitu.. ini ada sedikit jajan. Nanti bagi ke temenmu, ya, Dek. Tenang, gak ada jompa-jampi nya, kok.” ucapku sambil memberikan sekantung kresek berisi cemilan yang kubeli dipinggir jalan.

“Yang bener? yakin? bohong itu ngapusi kata orang jawa, Kak”

“Iya, duh kayak polisi interogasi segala”

“Aamiin. Emang pengen jadi polisi. Makasih, Kak!”

 

Aku pun pergi meninggalkan 'rumah' tersebut. Dan ketika hendak tancap gas, Aku menoleh dan mendengar Udin yang berteriak, “Guos, Mal, Nor, Wik! Ono jajan uenak ini, kalian mau gak?!” sambil berlari. Aku tersenyum ketika satu persatu dari kepala mereka menongol keluar dan menghampiri Udin sambil tersenyum riang gembira.

 

Seminggu sekali aku mengunjungi mereka di hari libur, kadang juga sepulang kerja kalau sempat. Mengajari mereka sedikit demi sedikit baca dan tulis, memberikan jajan kalau ada sepeser rezeki dari hasil kerja ku yang tersisa, membeli koran yang mereka jajakan walau hanya satu lembar.

 

Sampai saat dua minggu setelahnya, waktu pagi di hari liburku, dimana aku mengunjungi 'rumah' anak-anak itu, aku tidak menemui satu-pun dari mereka. Panik, bingung, tak tau harus mencari kemana. Hingga aku menemukan secarik kertas bertuliskan tulisan terbata yang familiar. Kertas itu adalah kertas yang kuberikan kepada mereka, dan tulisan itu ternyata milik Udin.

 

Tertulis disitu, “Halo, Kak! Kakak biasanya datang besok. Kalau memang besok Kakak benar-benar datang, Aku, dan para bocah keren (Agus, Jamal, Nur, Wiwik) udah dibawa ke panti asuhan dekat stasiun. Makasih banyak buat semua, ya! Kakak kalau kangen boleh kesini, kok! Tertanda: bocah-bocah keren.”

 

Aku pun langsung tancap gas menuju panti asuhan tersebut untuk memastikan dengan mata kepala ku sendiri apakah mereka benar-benar baik-baik saja. Sesampainya di sana, kulihat mereka tengah bermain dengan anak-anak panti yang lain.

 

Aku menghampiri mereka, dan Udin yang menyadari bahwa aku datang pun berteriak, “Gus, Mal, Nor, Wik! Deloen, Kakak datang!”

“Kakak!” ucap mereka.

“Duh, kalian ini”

“Kakak, kakak! Disini enak loh, makan enak-enak gak perlu nyari uang sendiri.” ucap Nur.

“Bisa main sama temen-temen juga” ucap Agus.

“Bisa nonton tv juga. TV nya guedhe banget, loh, Kak!” ucap Jamal.

“Ibu sama Bapak panti juga baik banget, Kak!” ucap Wiwik.

“Yang paling seru itu bisa belajar tiap hari, Kak! Jadi nanti aku bisa jadi polisi.” ucap Udin.

 

Aku pun tersenyum lega melihat mereka yang dengan senang menceritakan tentang keadaan mereka. Pengurus panti yang melihatku dengan anak-anak itu pun menghampiriku, sembari berkata,

 

“Sepertinya kamu akrab sama mereka. Mereka bakalan baik-baik aja kok disini. Kemarin Saya tidak sengaja bertemu dengan mereka dijalan dan berakhirlah mereka Saya bawa kesini.” ucapnya.

“Iya, Bu. Mohon jaga mereka, ya, Bu. Saya mungkin sekali-kali juga akan berkunjung kesini. Kalau begitu, Saya mau pamit dulu, Bu”

“Loh, gak mampir dulu, tah? Ayo kedalam dulu sebentar. Saya sudah buatkan teh.”

“Oh, iya. Gak usah repot-repot, Bu. Terimakasih.” ucapku kepada Ibu panti.

 

Siang itu pun akhirnya aku bercengkrama dengan Ibu panti, diiringi dengan gelak tawa anak-anak, dan juga lantunan melodi dari radio lama. Ketika Swastamita sudah mulai menampakkan keelokannya, aku pun memutuskan untuk berpamitan pulang.

 

“Bu, Saya pamit pulang dulu, ya.”

“Iya, hati-hati dijalan.”

“Kakak, kesini lagi ya!” kali ini Udin yang berbicara

“Iya, diusahakan, ya. Kamu sama yang lain juga belajar yang bener disini. Dadah, sampai jumpa lain waktu” balasku sambil melambaikan tangan

“SHAP EMPAT LIMA, KAPTEN!” ucapnya sembari berpose hormat kepadaku.

 

Aku pun bergegas untuk pulang sembari menikmati keindahan alam yang telah diciptakan oleh Tuhan. Kuhaturkan beribu syukur kepada-Nya. Ternyata masih banyak nikmat yang perlu ku syukuri. Kedua orang tua yang masih lengkap, kehidupan yang masih layak, impian yang masih bisa tercapai. Dan masih banyak juga orang yang peduli terhadap sesamanya.

 

Dan begitulah kejadian singkat itu berakhir. Banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang dapat kuambil. Dan sekarang, terpampang jelas sebuah surat kabar terakhir yang dijajakan oleh anak itu dihadapanku. Berita pagi hari yang dituangkan di lembar kertas dan dijajakan di waktu malam guna 'tuk dijual dan dapat sesuap makan. Surat kabar terakhir yang tak pernah ada bosannya untuk ku lihat dan ku kenang tentang hari-hari berharga kala itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love, hold me tight

HIDDING FEELING FOR HIM🌷

PERIHAL CINTA TAK HARUS JUMPA